Tuesday, May 28, 2013

Awalnya Selalu bukan Uang

Saat ini banyak sekali pemerintah daerah kabupaten yang mengeluh tak punya uang. Anggaran yang ada hanya cukup untuk bayar gaji karyawan. Mana ada uang untuk membangun sekolah dan fasilitas publik? Mana uang untuk menggali potensi sumber daya alam? Bupati birokrat yang biasa hidup dari atas tentu akan berteriak minta agar jatah uangnya ditambah. Tadinya saya kira yang kesulitan saja yang berteriak, tapi belakangan saya dengar daerah-daerah kaya ternyata juga melakukan hal serupa. Apa yang mereka perjuangkan? Betul, uang! Seakan-akan tanpa uang yang besar mereka akan mati dan daerahnya akan berontak. Betulkah tanpa uang dan sumber daya alam suatu kabupaten akan mati kelaparan? Tentu saja tidak. Saya kira semua tentu tahu Jepang adalah bangsa yang tak punya apa-apa, tapi rakyat di negara ini hidup sejahtera. Manusia yang tak mau hidup miskin tentu akan memutar otaknya. Jadi, kata kuncinya adalah akal. Tanpa modal, tapi bisa kaya raya dan rakyatnya sejahtera. Sejarah dunia usaha sesungguhnya juga kaya dengan cerita seperti ini. Lahirnya pengusaha-pengusaha besar selalu dimulai bukan dengan kekuatan uang, tapi akal dan nama baik; bukan akal-akalan. Hampir setiap minggu saya mengundang pengusaha sejati dalam sebuah talkshow di radio M97 di Jakarta. Anda tahu apa kesimpulannya? Benar: 99% mengatakan modal awalnya bukan uang. Mereka jadi besar karena akal. Di dunia internasional, akal juga pegang peranan penting. Sebuah perusahaan dengan aset jutaan dolar bisa berpindah tangan begitu saja dalam waktu singkat ke tangan orang-orang yang panjang akal. Sebaliknya, orang yang kurang akal bisa kehilangan segala-galanya. Mereka cuma mengutak-atik angka, lalu mencari penjamin yang berani. Bayarnya ternyata juga tak pakai uang. Apakah mereka penipu? Saya tidak terlalu tahu persis, tapi kalau ditelusuri rangkaiannya, Saudara-Saudara bisa berdecak kagum. Kok bisa membeli tanpa uang. Sayang, contoh-contoh yang ada di negara kita lebih banyak warna penipuannya ketimbang akalnya, sehingga tidak banyak yang bisa dijadikan contoh. Salah satu contoh yang sedang banyak diidolakan kaum muda dunia adalah Masayoshi San, CEO dan founder Softbank Corporation-Jepang. Orang Jepang keturunan Korea ini segera kembali ke Jepang setelah menyelesaikan studinya di University of California-Berkeley. Sejak kuliah ia memang sudah dikenal sebagai pria yang panjang akal. Awalnya tak punya produk dan tak punya uang. Suatu ketika ia terlihat membuka-buka buku direktori yang berisi nama-nama pengajar di kampusnya. Apa yang ia cari? Ia mencari profesor microcomputer yang mau diajak bekerja sama. Ia katakan bahwa ia tak punya uang, tapi punya gagasan-gagasan jenius. Gagasan-gagasan itu katanya harus unik, tidak mudah ditiru orang lain, dan dalam 10 tahun ke depan dapat menjadikan perusahaan sebagai pemimpin industri. Sebagian tentu saja menolak tawarannya. Tapi, begitu coretan-coretannya lebih jelas, beberapa mau bergabung. Kelak, karya cipta itu dibeli Sharp seharga US$ 1 juta. Produknya bernama Sharp Wizard, yaitu komputer sebesar kalkulator yang berfungsi sebagai kamus untuk delapan bahasa. Setelah uang didapat, barulah orang-orang itu dibayar. Hal serupa dilakukannya ketika kembali ke Jepang. Ia selalu mengatakan: ”Saya hanya punya sedikit uang dan pengalaman bisnis, tapi saya benar-benar memiliki keinginan yang meluap-luap untuk sukses.” Apa yang ia lakukan? Dalam sebuah pameran elektronika yang besar ia menyewa sebuah stan besar, sebesar stan yang dibangun merek-merek terkenal: Sony, Toshiba dan sebagainya. Ia melihat banyak komputer yang mulai dijual tapi tidak ada software-nya. Sementara itu orang-orang muda pembuat software tidak tahu bagaimana menjualnya. Ia lalu mengundang para pembuat software berpameran di stan itu. Free, gratis. ”Saya buatkan brosurnya dan lain-lain. Saya tak punya produk, tak punya banyak uang, tapi saya berikan mereka pameran gratis. Mereka bilang saya bodoh. Tak punya uang tapi memberikan tempat gratis. Oke, saya akan jalan terus sampai nanti mereka bisa mengerti apa artinya bisnis ini.” Masayoshi San benar. Beberapa bulan kemudian order datang, yaitu dari Joshin Denki, sebuah jaringan penjual PC terbesar di Jepang. Ia tidak mengenal Joshin Denki, tapi Denki bilang tanyakan pada Sharp, karena Joshin Denki adalah penjual Sharp terbesar di Jepang. Sharp ternyata memberikan rekomendasi, dan terjadilah deal. Setelah Denki menjual produk-produk Softbank, mau tidak mau yang lain juga ingin menyalurkan produk Softbank. Itulah awal penting bagi seorang entrepreneur. Akal pertamanya diarahkan untuk membangun reputasinya, brand-nya. Saya sungguh yakin ada beberapa bupati yang panjang akal seperti Masayoshi San. Mungkin daerahnya tidak cukup kaya, ia tidak punya banyak uang, tapi sadar betul sesuatu itu tidak selalu harus dimulai dari uang. Andai kata saja daerah-daerah bisa mendapatkan orang-orang panjang akal ini, daerahnya pasti akan menjadi sejahtera kendati pada awalnya semua pasti tidak mudah. Rully Membangun Franchise Lokal bernama CMM Oleh: Rhenald Kasali Banyak orang yang bisa memasak dengan enak, tapi hanya sedikit yang bisa menjual makanannya sendiri. Rully termasuk yang langka itu. Ia menceritakan perjalanan panjangnya dari awal sampai membuka cabang CMM di kota Padang, kota asal bagi banyak jenis makanan yang enak-enak. Ia menceritakan semua itu kepada Rhenald Kasali pada acara Bedah Bisnis di Radio M97FM, 23 Juli lalu. Seeprti biasa Rhenald ditemani oleh Ifeb alias Febrira Ghalib, penyiar tetap apda radio itu. Berapa omset sebulan? Seluruhnya, alhamdulillah, antara Rp 600-700 juta sebulan Konon kabarnya kalau bisnis makanan marginnya 50% sampai 100% ? Nggak. Itu kan orang yang ngomong. Kalo warung atau tempat yang nggak perlu sewa mungkin bisa 50 %. Kita bikin usaha, namanya usaha makanan, margin rangenya itu antara 10-20% Nggak ada rencana IPO? Belum. Saya franchise. Sekarang sudah berapa cabang Cwie Mie? Cwie mie sama Rully’s itu kita ada tujuh, tiga adalah franchise Dimana aja tuh ? Jakarta satu, Padang satu, dan Yogya Satu . Jadi orang padang itu sudah suka Cwie mie? Itulah yang saya surprise sekali.,Saya tahu bahwa Padang adalah gudangnya makanan, makanan di sana saya anggap enak, dan laku dijual dimana-mana. Kebetulan kenalan saya di sana mau buka Cwie Mie Malang di sana. Setelah saya cek lokasinya , saya setuju buka di sana. Sudah mulai? Hampir satu bulan. Penjualannya saya anggap luar biasa. Seberapa luarbiasanya? Untuk ukuran warung jangan dibandingkan Mcdonald dan Pizza Hut. Mungkin bisa Rp 8-10 juta per hari. Begini Pak Rhenald, biasanya mereka membuka warung di pasar atau di ruko. Saya beda, di sana ada tanah 1800 meter persegi. Saya kasih taman. Bangunannya dari batang kelapa dan batu bata. Suasananya adem dan kesannya dingin. Lighting kalau malam itu indah sekali. Jadi betul-betul berbeda dengan Kentucky yang ber-AC. Orang betul-betul niat untuk masuk ke sana. Begitu coba, ternyata mereka suka Kalau saya berminat franchise, apa cukup saya kirim proposal? Nggak. Datang saja ke tempat saya, ngobrol-ngobrol dengan saya Jadi dilihat dulu, bisa dipercaya nggak nih orang? Ya, bisnis adalah trust. Misalnya orangnya doing bisnis nggak. Atau hanya punya duit tapi konsentrasi nggak ke situ, saya nggak mau, nanti jalannya setengah-setengah. Harus menyiapkan uang berapa sih orang bisa franchise? Kalau yang namanya food court concept itu dananya tidak begitu besar, Rp 20 juta di luar sewa tempat. Itu modal kerja sudah termasuk equipment sederhana. Sederhana maksudnya seperti apa? Misalnya panci stainless steel itu harganya mahal, kita pakai panci biasa. Lebih murah dan tidak mengubah rasa. Berapa lama kira-kira bisa kembali modal di satu food court? Nggak lebih dari setahun. Kalau dalam setahun nggak balik modal, berarti ada something wrong. Bagaimana Cwie Mie bisa diterima dimana-mana apakah ada adjustment terhadap taste? Betul, tapi basic-nya nggak.Misalnya soal mie, yang enak itu belum tentu yang halus, lembut dan sebagainya. Sebelum saya membuka restaurant ini saya sudah melakukan survey dan riset di rumah. Saya undang orang Chinese, Betawi, Malang, Padang, untuk memilih mie yang paling disukai, ternyata hasilnya yang sekarang ini. Dan itu saya pertahankan sampai sekarang. Jadi, mie-nya bikin sendiri ? Iya lah. Kebetulan saya pernah kerja di Indofood, saya banyak kenal temen-temen di sana, mereka juga share knowledge lah, saya selalu tanya, dan saya punya equipmentnya Coba ceritakan sedikit latar belakang Anda, kelihatannya menarik? Saya SMA di Malang. Teman-teman mau jadi dokter, insinyur. Pokoknya jadi sarjana doctorandus. Yang milih ke perhotelan itu sedikit sekali, mungkin hanya 1%, termasuk saya.. Saya masuk ke National Hotel Institute Bandung.. Teman saya ngasih saran lebih baik masuk ke bagian makanan, karena koki gajinya gede, akhirnya saya masuk kesitu. Sebelumnya anda tidak hobby masak? O, tidak. Waktu kecil saya suka masak nasi goreng, rujak cingur, ibu saya kebetulan punya warung(kantin). Di stadion, kantinnya, ibu saya yang pegang. Kadang-kadang kalau nggak ada pembantunya, saya jualan. Saya bikin rujak di situ. Tadi latar belakangnya sebagai koki. Sekarang pengalaman kerjanya sebagai apa saja? Saya pernah kerja di hotel. Pertama, sebagai cook helper tahun 70-an, ketika itu senior sering ngerjain anak baru seperti saya. Disuruh ngupas kentang satu atau dua karung. Lalu di Hilton jadi cook. Trus saya balik lagi sekolah, sampai suatu saat saya inging menjadi raja kecil, saya nggak mau kerja di hotel jadi cook aja, saya ingin menjadi manager waktu itu, setelah selesai sekolah saya menjadi food and bavarage manager di hotel Kemang selanjutnya saya kerja dengan Pak Bob Sadino. Karena Bob Sadino sering ke Hotel Kemang atau Anda yang sering ke Kemchick? Saya yang datang ke Kemchick. Lalu saya ngobrol-ngobrol-lah. Saya menjadi Asisten Manager Supermarket, tapi disini tugasnya nggak jelas, karena saya nggak ngerti tugas di supermarket. Background saya itu cook, maka saya olah itu daging. Daging yang segitu banyak akhirnya saya bumbuin, dan saya namain food ready to cook atau apalah itu. Ketika itu Hero dan semacamnya belum ada. Adanya hanya di Kemchick. Di supermarket belum ada salad saya sudah jual salad, jadi saya berjasa lah terhadap pak Bob itu. Setelah 8 tahun kerja, cukuplah, waktu itu ada lowongan Operation Manager di Burger King, di situ saya mulai belajar franchise. Saya memegang Operation Manager itu 2 s/d 3 tahun. Setelah itu saya pindah ke Indofood. Kurumayan Rudolf restaurant itu ada 10 outlet, di situ saya pegang operationnya 2 tahun lebih. Kalau nggak salah, saya keluar lagi, trus saya kerja sama Rini Suwandi (sekarang Memperindag) untuk pegang bakery café, itu franchise juga di Amerika selama 2 tahun. Jadi di Obongpang bakery café itu terakhir? Kenapa terus mendirikan Cwie mie? Begini Pak. Sejak awal kerja saya melihat bahwa saya tidak mempunyai dana pensiun. Saya nggak punya apa-apa. Saya masih dipakai karena saya masih kuat,sehat, tapi setelah itu what next? Saya nggak punya apa-apa. Saya melihat teman-teman yang lain hanya menghabiskan hasil sisa-sisa keuangan mereka. Setahun di Kemchick saya buka Hoka-Hoka Bento. Saya di bagian produksinya. Setelah itu saya keluar, saya bikin usaha sendiri yang saya namakan modif frozen food. Saya bikin sukiyaki di-packaging, yakiniku di-packaging, torinoteba. Kemudian saya punya teman India. Dia saya suruh telepon ke instansi pemerintah dan lainnya, waktu itu Dharma Wanita lagi ngetrend. Kemudian saya bilang ke dia bahwa saya ada demonstrasi gratis, kita ada perusahaan dari Jepang, kita mau demo masak gratis ke tempat ibu. Kebetulan waktu itu ada arisan, pesertanya 100 orang. Tapi saya hanya punya 30 pack. Akhirnya berbutan. Jadi konsep jualannya adalah saya telepon ibu-ibu Dharma Wanita, kita dating ke sana, akhirnya mereka beli. Begitu juga saya lakukan dengan Cwie Mie ini, sambil mikirin next-nya bagaimana ? Jadi Anda masih kerja pada saat membangun Cwie Mie? Ya, saya masih kerja, artinya saya nggak mau gambling. Kalau misalnya saya gagal disitu, saya masih ada income. Tapi saya tahu, di tempat kerja, future nya kurang menjanjikan, artinya saya harus doing something, saya harus bertahan, makanya saya bikin steak dan Cwie mie itu. Erick Thohir Oleh: Rhenald Kasali Pendatang baru di dunia bisnis media ini membuat langkah besar. Dalam waktu bersamaan ia masuk ke Republika, Golf Digest, dan Videotron. Sebelumnya ia telah memiliki Radio One di Jakarta dan Medan. Beberapa langkah lagi, ia memiliki stasiun televisi. Di kalangan pebasket nama Erick Thohir tidak asing lagi, karena ia termasuk orang yang berjasa ikut mengurus basket dengan serius di Indonesia. Olahraga ini digemarinya, kendati ia merasa bukan orang yang bertubuh tinggi. Usianya masih muda bagi kebanyakan pebinsis sukses di Indonesia. Kita bisa menyebut bahwa kemampuan bisnis Erick belum teruji karena usianya yang muda itu. Tetapi, kalau melihat track record-nya menjalankan bisnis, anggapan itu bisa diabaikan. Ia memulai bisnis usia 23 tahun, masih sangat muda. Setelah menyelesaikan sekolah bisnisnya di Amerika, Erick diminta orang tuanya membenahi bisnis keluarga, restoran Hanasama yang terkenal itu. Ia ditempatkan sebagai manager. Di sini bakat dan kemampuannya bulai kelihatan. Ia membenahi beberapa bagian dari Hanamasa yang tidak efisien dan tidak efektif. Ia berhasil menghapus mark up dan menciptakan harga yang pantas dalam pembelian, menjaga mutu. Setelah itu selama dua tahun ia membangun system baru di bisnis keluarga ini. Hasil jerih payanya kelihatan dalam pembukuan. Semula, tahun 1993, restoran ini hanya mempunya 2 cabang. Pernah membuka cabang lain, tapi sebagian tutup lagi. Sekarang, jumlahnya cabangnya sudah 11, termasuk yang terbaru di Medan. Penjualan perusahaan dalam setahun sudah mencapai Rp 20 miliar. Setelah itu, ia membangun bisnis sendiri bersama teman-temannya di bidang pertambangan batubara dan kapur. Tambangnya berada di Sumatera dan Irian Jaya. Bisnis medianya dimulai dari radio. Ia membeli Irama Suara Indah, dan menggantinya menjadi radio one. Sekarang sudah ada dua radio one: di Jakarta dan Bandung. Yang membuat Erick menggeluti media lebih dalam lagi dimulai 18 Oktober 2000: ada tiga proposal di mejanya tentang Pengembangan Republika, Majalah Gofl Digest, dan Videotron di depan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Ketiganya diambilnya. Sejak saat itu, Erick langsung memiliki Group media yang disebutnya Indopacmedia. Ke depan, Erick mempunyai mimpi membangun bisnis televisi. Ini hal yang wajar, sebab semua pebisnis media, cita-citanya adalah memiliki televisi siaran. Ia tidak buru-buru dan grasa grusu masuk ke TV, kendati ia memiliki kesempatan untuk itu. Ia memegang prinsip bisnisnya: harus diberi kesempatan mengelola manajemennya. Artinya, ia ingin mengusai 51% saham. Soal Republika, kendati ia menyebut ada unsur gambling, tetapi perhitungan bisnisnya tetap dominan. Bukti gampangnya, hanya dalam beberapa bulan, Erick mampu mencetak (potensi) laba Rp 1 milyar tahun ini (dalam delapan bulan sudah mencapai Rp 750 juta). Langkah besarnya di Republika adalah mengajak pengusaha di daerah menerbitkan Republika di daerah masing-masing. Modalnya patungan. Isinya, berita nasional dari Jakarta, berita lokal dari daerah. Ini model kerjasama di bidang media cetak, suratkabar di Indonesia. Erick Membangun Republika Oleh: Rhenald Kasali Belum banyak yang mengenal nama Erick. Ia masuk tahun lalu ke Republika. Belum sempat satu tahun dipegangnya, Republika sudah bakal kelihatan untung Rp 1 Milyard tahun ini, padahal tahun lalu masih rugi sampai 7 milyar. Ia akan mengembangkan Republika di 11 daerah di Indonesia. Erick Thohir menjadi tamu Bedah Bisnis Rhenald Kasali di radio M97FM, Senin 13 Agustus 2001. Dio bawah ini adalah bagian dari wawancara Rhenald Kasali dengan Erick. Seperti biasa Rhenald didampingi oleh Febrira Ghalib alias Ifeb, penyiar tetap di M97FM. Saya kira banyak yang bertanya siapa itu Erick Thohir. Banyak bisnis yang digelutinya, dan yang paling menonjol belakangan ini adalah Anda menjadi investor Republika.Benar bagitu Pak Erick? Alhamdulillah begitu Pak Bisa diceritakan latar belakangnya Pak? Anda pernah cerita pada saya bahwa pada suatu tanggal tertentu tiba-tiba ada tiga opportunity yang timbul, bisa diceritakan? Kalau tidak salah itu terjadi tanggal 18 oktober 2000. Kebetulan di atas meja kantor saya itu ada tiga proposal dan kebetulan tiga-tiganya mengenai media. Apa saja proposal itu ? Waktu itu ada Majalah Golf Digest, Videotron, lalu ada Republika. Sesuai dengan background saya di advertising dan marketing, saya bertemu dengan partner saya dan berceritatentang hal ini. Buat saya ini temptation, dan menarik karena datang pada saat yang bersamaan. Mungkin ini sudah jalan dari Yang di Atas buat saya, mengapa tidak saya coba. Selama ini, sudah 8 tahun saya di industri dan pertambangan, jauh dari apa yang saya pelajari di masa kuliah. Sekolahnya apa? Saya ambil Advertising, masternya marketing Setelah kuliah masuk ke bisnis apa? Bagian keuangan di Bisnis ertambangan. Tapi ini yang paling menarik dalam hidup: kadang-kadang kita mempraktekkan apa yang bukan kita pelajari di sekolah. Tetapi bagi saya kuncinya adalah kalau kita bisa commite dalam hal apapun, kita bisa kasih effort kita yang terbaik. Saya kira selalu ada jalan. Pertambangannya di bidang apa? Kapur dan Batubara Di? Batubara di sawahlunto dan Riau. Kapurnya ada di Freeport dan Newmont Bagaimana ceritanya Anda bisa masuk ke bisnis kapur dan batubara? Sebenarnya ketika itu saya sedang membantu o rang tua di bisnis restoran Hanamasha. Lalu dua teman dekat saya mengajak bisnis sendiri. Lalu saya minta izin kepada orang tua. Langsung jalan? Orang tua menyetujui selama masih di luar core bisnis keluarga. Saya diizinkan dan dipinjamkan uang, tanpa bunga lagi. Usia berapa Anda melakukan itu? Usia 23 Masuk sendirian atau sama teman? Kebetulan kedua teman saya background-nya finance dan mereka cita-citanya ingin menjadi Industriawan Berkembang? Alhamdulillah Selain batubara, tadi Anda cerita bisnis keluarga Hanamasa, anda terlibat sebagai apa? Tahun 1993 waktu itu Hanamasa sedang ada masalah dengan partner, karena kurang transparasi. Ketika saya dating dari luar negeri orang tua minta saya bantu dulu karena sedang ada problem. Bagaimana ceritanya? Setelah menjadi manager 6 bulan, saya melihat keadaannya kurang baik di dalamnya. Terjadi mark-up, barang pada satu supplier sehingga harganya tidak kompetitif, apalagi restauran itu kan untungnya sen-senan. Katanya marginnya gede? Tidak juga, paling cuma beberapa belas persen untungnya. Jadi Anda membenahi manajemennya? Pertama sih culture dari pada company: Kita mesti percaya, kalau mau hidup enak, kita harus kerja bersama-sama. Lalu saya usulkan teamwork. Kita coba. Lalu membetulkan purchasing dan keuangan. Terakhir saya kembangkan system. Di Hanamasa kan tidak perlu memasak, kita hanya sediakan bahan baku dan kita konsentrasi di quality control, bumbu sabu-sabu dan yakiniku. Alhamdulillah selama 2 tahun pertama pembenahan system telah selesai. Hasilnya kita kita bisa lihat: Hanamasa membukan cabang ke 11 di Medan, padahal tahun 1993 cabangnya cuma dua, sempat menjadi empat tapi kemudian tutup lagi. Itu yang pertama di luar Jawa ? di Jawa dimana saja? Di Surabaya, Bandung, Bogor lalu Jakarta. Di Jakarta saja sudah 7 cabang sekarang Jadi modalnya dari sana, pengalaman kerja beranjak dari sana? Sebenarnya pengalaman kerja saya modalnya dari sana, karena basis restoran sangat bagus, kita harus teliti dan detail. Alhamdulillah setelah itu saya bergabung dengan partner yang lain. Butuh berapa lama memperbaiki semua ini? Selama 8 bulan, penerapan system 2 tahun Itu kerja sendiri atau minta bantuan yang lain? Teamwork, kecuali business plant-nya Berapa asset hanamasa saat ini? Kalau asset saya tidak ingat, tetapi kalau sales sekarang hampir mencapai sampai 20 milyar. Kta sudah bicara tentang latar belakang, mulai dari bisnis restoran lalu masuk ke pertambangan. Kemudian tiba-tiba ada 3 buah proposal, apakah Anda memutuskan untuk mengambil ketiga-tiganya Saya melihatnya memang agak ngeri. Tapi, saya melihat media ke depan bahwa media menjadi complement satu dengan yang lainnya. Saya tidak percaya bahwa TV, radio, majalah akan mati. Masing-masing media punya karakter dan komunitasnya sendiri-sendiri. Contoh TV dan Koran. TV mempunyai jangkauan yang lebih luas tapi sulit untuk didokumentasikan, koran bisa dikliping. Itu tadi TV dan Koran. Bagaimana dengan Radio? Saya rasa sama. Saya melihat Radio sekarang digunakan sebagai jaringan untuk TV. Kan,kita tidak bisa nonton TV di mobil, jadi lebih afdol dengar radio. Jadi, langkah berikutnya adalah multimedia. Sekarang sudah ada koran ,majalah ,videotron. Radio sudah ada Radio one Setelah radio, langkah berikutnya apa? Ya, tentu TV station. Tapi kembali kita melihat dari sisi bisnisnya, visible atau tidak.Kita mesti passion. Bila ada momentum bisnisnya, kita mesti manfaatkan. Contohnya Republika, di tahun 2000 rugi Rp 7 milyar, tahun ini kita tutup buku insya Allah untung Rp 1 milyar. Bagi kami, ini miracle: hanya dalam waktu 8 bulan! Media is capital intensive, karena itu saya tetap mengusahakan Republika harus listing dan harus right issue kembali. Kita sangat membutuhkan dana untuk pengembangan Republika di 11 daerah. Kami akan mengembangkan Koran dearah Republika dengan bekerjasama dengan pengusaha lokal. Kami memasok berita dari pusat, dan daerah mencari berita lokal. Korannya tetap terbit dengan nama Republika. Kerjsama seperti akan lebih efisien. Pemain daerahnya siapa? Pengusaha lokal baik, yang sudah punya brand lokal bahkan yang belum punya brand lokal. Sistemnya seperti franchise tetapi tidak ada fee di depan, atau lebih tepat disebut joint venture. Kenapa mesti 11, tidak 12 ? Yang visible baru 11 Anda nggak takut compate dengan Jawa Pos ? Saya rasa tidak. Alasannya begini: Kompas, koran besar, namanya bisa nationally tetapi ada nggak willing Kompas untuk membangun networking bersama pengusaha daerah bersama-sama memiliki Kompas sebagai satu PT baru gitu di daerah dan dia berani mengorbankan brand Kompas? Chairul Rivai Bisa Menyalip Gajah Mada? Oleh: Rhenald Kasali Anda pernah mampir ke restoran Cwie Mie Malang (CMM)? Walaupun namanya ada kata Malang, tapi restoran ini tidak beralamat di kota Malang, Jawa Timur, dan lebih banyak di Jakarta. Restorannya sederhana, terbuka, tanpa AC, tapi tidak panas karena banyak angin. Sebagai franchise lokal, ia bisa disebut sukses besar. Biasanya berada di dekat pemukiman, dan di pinggir Jakarta, atau dekat tol lingkar luar Jakarta. Rully tampaknya mendekati pembeli sampai ke depat rumahnya, ketimbang masuk mal. Karena itu, pula barangkali mata dagangannya relatif murah ketimbang makanan di mal. Dagangannya boleh dibilang campuran makanan tradisional mie ayam dan steak, dan sejumlah menu lainnya. Semua sama di semua cabang. Ada makanan ringan dan aneka minuman. Dibandingkan dengan restoran mie ayam yang sejenis – Bakmi Gajah Mada, Bakmi Gang Kelinci, dan Bakmi Gindangdia, sekedar menyebut Mie yang terkenal di Jakarta—CMM jauh lebih agresif membuka cabang. Tapi, jangan dikira, Rully asal membuka cabang. Rully tidak saja melihat kemampuan finansial calon mitranya, tapi juga melihat tingkat keseriusan calon investor. Dan menilai apakah calon rekanannya itu bisa dipercaya. Tapi, yang jelas, berbeda dengan para pengusaha makanan sejenis mie ini, Rully jauh lebih rasional dalam mengembangkan bisnisnya. Mulai dari Bawah Ketika lulus SMA di Malang, Chairul Rivai tidak seperti teman-temannya yang lain. Ia memilih sekolah yang tidak popular: perhotelan di Bandung. Jurusan yang dipilihnya adalah makanan, setelah lulus jadi koki. Menurut teman-temannya, profesi ini gajinya lebih besar ketimbang jadi front office, atau jabatan lain di sekolah perhotelan itu. Tetapi, ketika bekerja mulai berbeda dengan teman-teman sekerjanya. Ia merasakan, bila hanya jadi pegawai, suatu saat ia akan ditendang oleh majikan jika tidak kuat bekerja lagi, atau tidak sehat. Pikiran ini menggelitiknya, dan mendorongnya membangun usaha sendiri. Usaha yang dibangunnya tidak jauh dari keahliannya yang telah digelutinya sejak selepas SMA: di dunia makanan. Untuk membangun bisnis, rupanya Rully –nama akrab Chairul Rivai—memetik pengalaman yang banyaks ekali sepanjang ia bekerja: di Kemchick bersama Bob Sadino, Restoran milik Rini Suwandi (sekarang Memperindag), Indofood, dan beberapa restoran franchise asing. Ketika bekerja di Bob, kreativitasnya sebagai pengusaha sudah tampak: ia menciptakan produk baru yang ketika itu belum ada. Misalnya daging berbumbu, yang siap di masak. Juga salad dalam kemasan. Bakat dagangnya baru tampak jelas, ketika pertama kali merintis usaha bersama temannya orang India. Si India dimintanya menelpon ibu-ibu Dharwa wanita yang ketika itu sedang marak. Di depan kumpulan ibu-ibu dharma wanita yang sedang arisan Rully mengadakan demo masak, yang tentu saja menggiurkan bagi wanita yang pada umumnya gemar memasak. Dengan cara seperti ini pula, awalnya Rully mengembangkan Cwie Mie. Sekarang usahanya itu boleh dibilang sukses. Ia mengembangkan dengan cara franchise. Sudah memiliki 10 cabang di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang. Semua kebutuhan pokok, termasuk mie, berasal dari Rully. Konsep restoran dibuat sederhana dan terbuka. Selain menarik, juga menghemat listrik. Peralatan dapur pun tidak perlu yang stainless steel. Panci alumunium pun cukup, karena tidak mempengaruhi rasa. Sekarang, satu restoran bisa menghasilkan Rp 150 juta sebulan, dan ada yang kurang dari itu. Sehingga total ia mengumpulkan sedikitnya Rp 750 juta dalam sebulan. Kafi Kurnia " Hormat " INGATAN paling jelas dari masa sekolah saya adalah hari pertama, ketika diantar Ibu. Saat itu semuanya terasa asing. Terutama ketika belajar memberi hormat kepada guru, Sang Saka Merah-Putih, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pelajaran terpenting mungkin adalah kedisiplinan berhormat. Itulah yang banyak mengubah perilaku saya kemudian. Belajar menghormati merupakan jurus bisnis yang penting pula. Pekan lalu, di Hong Kong, saya sarapan di sebuah warung bubur. Tempatnya sangat sempit. Orang berdesak-desakan. Beberapa konsumen tak sabar menunggu. Saya kagum melihat cara mereka makan. Bubur panas mendidih itu habis diseruput kurang dari lima menit. Saya butuh lebih dari 15 menit. Bagi orang Hong Kong, waktu memang komoditas sangat berharga. Mereka sangat menghormatinya. Jangan heran bila melihat orang Hong Kong berjalan tergesa-gesa, saling mendahului. ! Lain dengan kita. Rasa hormat kita terhadap waktu tak setebal mereka. Sampai-sampai di masyarakat kita beredar istilah populer jam karet. Beberapa buku petunjuk bisnis di Indonesia mencantumkan fenomena jam karet sebagai sebuah budaya yang dianut banyak orang. Sebagai bangsa Indonesia, saya malu akan hal ini. Rasa hormat perlu juga kita tanamkan terhadap uang atau duit. Dalam hal ini, kita punya prestasi buruk. Ke mana-mana saya pergi, bangsa kita dikenal bukan sebagai bangsa irit. Di Arab, misalnya, beredar cerita bahwa jamaah haji kita adalah konsumen royal yang senang belanja perhiasan. Di Singapura, konsumen Indonesia dikenal doyan belanja. Di California, kita bisa mengenali mobil mahasiswa Indonesia yang terkenal bergaya mewah dan berkaca gelap. Saya sering minder melihat "prestasi" ini. Saya baru saja mendapat kado, sebuah buku karangan Martin S. Fridson berjudul How to be a billionaire. Buku itu diberikan sebagai sebuah sindiran karena obsesi ! saya yang ingin mencari istri kaya raya. Buku ini menarik. Di buku itu ada kutipan Franklin D. Roosevelt. Bunyinya, "Kebahagiaan kita bukan karena kita memiliki banyak uang. Namun justru pada prestasi dan usaha-usaha kreatif dalam mencarinya." Orangtua kita berkali-kali mengingatkan betapa sulitnya mencari uang. Nasihat itu semata-mata dikumandangkan agar kita belajar lebih banyak menghormati uang, dan hidup irit. Hal lain yang sering juga saya sesali adalah betapa saya acapkali meremehkan lawan. Padahal, seorang mentor pernah memberikan wejangan: dalam pertarungan bisnis, teman terbaik kita seringkali adalah justru musuh-musuh kita. Sam Walton, pendiri perusahaan raksasa retail Amerika terkenal, Wal-Mart, pernah berkata: "Kebanyakan trik saya ditiru dari orang lain." Kalimat tersebut merupakan ucapan penuh keberanian dari seorang yang punya rasa hormat begitu tinggi terhadap musuh dan lawan mereka. Tak mengherankan bila salah satu komentar Gus Dur ketika! lengser adalah kesalahannya dalam meremehkan kekuatan lawan. Belajar menghormati lawan sering sulit kita lakukan. Dalam bisnis, ini sering jadi kunci menentukan. Tiga hal di atas, kemampuan menghormati waktu, uang, dan lawan, tak jarang saya temukan sebagai tiga serangkai ciri khas para entrepreneur kaliber atas. Belajar menghormati waktu, uang, dan lawan tidaklah mudah. Perlu kerendahan hati luar biasa. Saya bersyukur, di sekolah dulu saya punya guru yang secara pas menunjukkan kepada saya metode yang tepat. Walaupun demikian, saya masih harus terus belajar. Semuanya karena alasan yang sederhana. Waktu dan perubahan makin cepat. Nilai uang kita makin kecil karena inflasi dan krisis ekonomi. Lawan dan kompetitor kita makin banyak dan canggih. Rasa hormat kita terhadap waktu, uang, dan lawan jelas makin kompleks dan sulit. Kita perlu menguras kerendahan hati kita hingga ke dasar paling dalam. Corporate Culture Blue Bird Oleh: Rhenald Kasali Selain itu, yang menarik adalah Blue Bird sudah memiliki corporate culture jauh sebelum istilah ini populer menjadi sebuah teori, yang banyak dipraktekkan di perusahaan Jepang, yang kemudian diikuti oleh perusahaan Amerika. Salah satu praktek corporate culture itu adalah pengangkatan anak pengemudi menjadi anak perusahaan. Ingat kasus tewasnya pengemudi bernama Sudjono karena ditusuk oleh perampok, dan kemudian anak mereka diangkat menjadi anak Bule Bird, dengan menjamin biaya sekolahnya sampai lulus SMU bahkan sampai perguruan tinggi jika nilainya bagus. Nilai-nilai luhur dari Blue Bird telah dikembangkan sejak awal perusahaan ini berdiri oleh pendirinya. Antara lain, disiplin, kejujuran, sopan santun dan sebagainya. Sampai kini nilai-nilai itu masih tertanam. Ini terlihat misalnya dalam rekrutmen pengemudi baru. Mereka menyeleksi dengan ketat pengemudi yang akan mengenakan seragam Blue Bird di belakang setir. Harus sopan, jujur, bersih, tidak banyak cakap kalau tidak ditanya, tidak “panasan” bila disalip di jalan raya. Tidak merokok ketika membawa penumpang. Kejujuran, misalnya, tampak bila barang penumpang tertinggal di taksi. Kelak barang tersebut akan dikembalikan ke pemiliknya. Menurut catatan Blue Bird ada ratusan barang yang tertinggal di taksi dalam sebulan. Pengemudi dan manajemen berusaha mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Pengemudi mendapat penghargaan dari perusahaan jika, hal ini dilakukannya. Karena itu, Blue Bird tidak mudah menemukan pengemudi yang baik. Misalnya, setiap 100 calon supir, tidak lebih dari 10 orang yang lulus seleksi yang ketat itu. Di samping menjaga kualitas pengemudi, Blue Bird juga meningkatkan kualitas pelayanan. Hal yang umum adalah peremajaan taksi pada waktunya. Yang tidak umum adalah: Blue Bird menyediakan handphone pada beberapa taksinya, untuk penumpang yang memerlukannya, tentu saja ada biaya tambahan untuk menggunakan ponsel ini. Yang lebih canggih adalah menerapkan teknologi GSP. Blue Bird mampu mengetahui posisi persis sebuah taksi dengan menggunakan teknologi yang terhubung ke satelit ini. Ada bebera manfaat yang dipetik: penumpang bisa dilayani lebih cepat, dan Blue Bird bisa “memantau” ke mana pun taksi ini bergerak, termasuk apabila taksi di bawa kabur oleh perampok. Karena itu, tidak heran jika total armada Blue Bird saat ini mencapai 15.000 unit, dan tersebar di beberapa kota di luar Jakarta, bahkan sampai ke Lombok, di dalamnya termasuk Big Bird, Golden Bird, Pusaka, dan lainnya. Sekarang, Blue Bird dipimpin oleh Generasi Kedua. Di Indonesia, memang sudah banyak perusahaan yang dipimpin oleh generasi kedua, tetapi tidak banyak yang sukses. Apalagi jika dipimpin oleh generasi ketiga. Mungkin belum ada contoh yang baik di Indonesia sebuah perusahaan tetap sukses dipimpin oleh generasi ketiga. Karena itu pula, rupanya, keluarga besar Blue Bird agak ragu menyerahkan Blue Bird kepada generasi ketiga, yang sudah mulai besar. Tetapi mereka tidak kehilangan akal, para penerus ini diberikan mainan “Pusaka”, group perusahaan taksi yang sepenuhnya dikelola oleh generasi ketiga Blue Bird. Namun, patut dicatat juga, manajemen Blue Bird tidak berjalan mulus seperti taksi di jalan tol. Konflik tetap ada, bahkan sempat heboh beberapa waktu yang lalu. Hal ini sebenarnya wajar karena terjadi di semua perusahaan. Yang kita harapkan adalah Blue Bird tetap bertahan dan maju. Sebab, Blue Bird bisa menjadi pelajaran bagi “calon pengusaha” di Indoensia, yang tampaknya kurang memiliki contoh dan panutan yang baik, di tengah perusahaan karbitan yang akhirnya gugur disikat krisis ekonomi tempo hari. Jatuhnya Merek yang Berekuitas Tinggi Oleh: Rhenald Kasali Mungkin diantara pembaca masih teringat akan Ny Tanzil yang terkenal jago masak. Banyak buku-buku resep masakan yang di tulis oleh beliau. Pada saat itu nama Tanzil tak dapat dipisahkan dengan masakan. Apalagi didukung Pak Tanzil yang sering bepergian ke luar negri dan menulis mengenai perjalanannya dari: makanan khas, cara makan, biasanya selalu berhubungan dengan makanan. Sehingga tulisan-tulisan Pak Tanzil di majalah Intisari turut membangun brand Tanzil. Pak Tanzil sendiri juga dikenal Sebagai seorang professor yang senang membina hubungan baik dan mempunyai banyak murid. Tertarik dengan Brand Tanzil ini maka Ibu Mery mengajak Ny Tanzil untuk bekerja sama membuat restaurant. Ibu Mery adalah adik dari Pak Samadikun Hartono (Modern Group). Maka pada tahun 1989 berdiri Restaurant “Tanzil Fried Chicken” yang dikelola oleh Pak Yudiarto dibawah PT. Honorindo. Pada saat itu fried chicken sedang trend. Dan cuma ada Kentucky Fried Chicken lalu Texas, California, yang terakhir ya Tanzil Fried Chicken ini. Brand Tanzil Fried Chicken ini terbukti betul-betul sellable karena sambutan dari masyarakat sangat luar biasa. Dalam 3 tahun Tanzil Fried Chicken berkembang sangat luar biasa, sampai memiliki 23 cabang dengan hampir 1.200 karyawan. Cabang-cabangnya tersebar di Ambon, Semarang, Bandung, dan Jakarta yang paling banyak. Untuk Jakarta ada di Kalibata Mall, Atrium Senen, Kelapa Gading Mall, Rawamangun,Kramat Jati Indah. Tanzil Fried Chicken ini menawarkan fried chicken Indonesian taste. Selain fried chicken menu yang ditawarkan banyak sekali. Dengan Indonesiah taste tentunya, antara lain: steak yang khas sekali, sop buntut, gado-gado, bahkan nasi kuningnya laku sekali. Semua ini merupakan hasil racikan dari Ny Tanzil. Bentuk kerja samanya dengan cara, PT Honorindo membayar fee ke Tanzil Fried Chicken dengan membeli bumbu-bumbunya. Dimana nilai kontrak saat itu kurang lebih 15 Juta selama 3 Tahun. Namun sayangnya setelah 3 tahun berjalan, terjadi konflik intern tentang merk. Dimana pihak Tanzil meminta untuk membeli merek “Tanzil Fried Chicken” selama 25 tahun senilai 1,5 milyar. Pihak Tanzil sampai meminta kontrak seperti diatas, karena PT Honorindo mendaftarkan nama Tanzil sebagai trademark PT Honorindo tanpa persetujuan terlebih dahulu. Pihak PT. Honorindo sendiri merasa tak dapat memenuhi nilai kontrak yang baru karena cash flow-nya tak mencukupi. Negosiasi tersebut berakhir dengan Pak tanzil meminta kembali nama Tanzil tersebut. Karena ini merupakan loose-loose situation, jadi semuanya harus punya jiwa besar, PT Honorindo mengembalikan seluruh atribut bahkan sampai piring-piring, mangkok-mangkok kita kembalikan ke pihak Tanzil, sedangkan hak nama Tanzil dikembalikan secara hukum ke Ny. Tanzil juga. Kemudian PT. Honorindo mengganti merek dengan Putri Fried Chicken. Dengan merek baru ini PT. Honorindo tidak dapat mendulang sukses seperti ketika memakai merek Tanzil. Disinilah terbukti memang image dari nama Tanzil betul-betul luar biasa. Sampai sekarang Putri Fried Chicken ada sekitar 7 outlet. Memang suatu merek tak dapat dibangun dalam sekejap mata, dapat kita lihat bahwa brand Tanzil ini dibangun dari bawah dan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan Brand seperti Kentucky Fried Chicken, MC Donald, Coca Cola, juga memerlukan waktu untuk bisa tampil seperi sekarang ini. Sebenarnya brand local seperti Tanzil ini sayang sekali bila tak dikembangkan. Karena merek ini dapat membuat kita bersaing dengan dunia luar di era globalisasi. Karena brand ini nama orang, dan bagi kita nama orang itu kan sakral sekali. Rhenald Kasali (R): Selamat pagi pak Yudiarto, kita akan mengangkat topik sesuatu yang sudah cukup lama kira-kira 6-7 tahun yang lalu mengenai hilangnya Tanzil Fried Chicken. Pak Yudiarto ini sebagai salah satu arsitek dibelakangnya. Dengan pendidikan teknologi pangan. Kemudian pulang ke sini dan membuat restoran. Yang pada waktu itu bekerja dibawah bendera Modern Group. Y: Bukan khusus dibawah Modern Group tapi adik dari pemilik Modern Group, Pak Samadikun Hartono. R: Setelah itu membikin sebuah rumah makan diberi nama Tanzil Fried Chicken and Steak pada tahun 1989. Setelah memiliki 23 cabang pada tahun 1994 timbul masalah. Kemudian kita tidak melihat lagi Tanzil Fried Chicken padahal pada waktu itu sudah cukup ramai. Sampai kemana aja, Pak? Y: Yang paling jauh di Ambon. Ada Semarang, Bandung, Jakarta yang paling banyak. Di Jakarta ada di Kalibata Mall, Atrium Senen, Kelapa Gading Mall, Rawamangun, Kramat Jati Indah. R: Satu kasus yang menarik, kita belajar bukan dari yang sukses saja tetapi juga yang hilang perlu kita pelajari begitu ya. Karena masalah merek, masalah waralaba. Salah satu hal yang sensitif di Indonesia yang perlu kita pikirkan. Bisa diceritakan Pak Yudiarto gimana sampai dulu begitu tumbuh menjadi besar, kenapa menggandeng Nyonya Tanzil. Y: Begini, karena seperti kita ketahui bahwa di era tahun ’89 itu nama Tanzil itu betul-betul satu trademark yang spesifik sekali dalam dunia masakan. Dan ny Tanzil juga sering menulis resep-resep makanan. R: Ah, Bukankah Prof. Dr. dr. Tanzil suami Ny Tanzil yang suka berkeliling dunia itu ya?. Y: Betul. Jadi ide waktu itu dari ibu Mery adiknya pak Samadikun. Menggandeng nyonya Tanzil untuk bekerja sama dalam membuka usaha restoran fried chicken pertama. Karena restoran fried chicken sedang trend. Pada waktu itu cuma ada Kentucky Fried Chicken, lalu Texas, California. Ny. Tanzil masak dengan resep yang enak sekali dan sangat terkenal. Karena itu kita gandeng lalu kita bikin satu trade-mark yang namanya Tanzil Fried Chicken. Tanzil Fried Chicken berkembang dengan pesat. Karena rasanya yang cocok dengan selera masyarakat kita. Sambutan masyarakat juga luar biasa sampai kita punya 23 cabang dengan hampir 1.200 karyawan pada waktu itu. Namun setelah 3 tahun berjalan, terjadi konflik internal tentang merk. R: Padahal merk itu yang membawa sukses. Jadi selain resep juga merek. Mengapa memakai merek Tanzil? Apakah karena memiliki nilai jual? Y: Betul, memang betul-betul Tanzil Fried Chicken itu memiliki nilai jual. Ny Tanzil sendiri sudah terkenal dimana-mana dan betul-betul juru masak yang sejati. Saya rasa tidak ada bandingannya. Resep sebagian besar ditangani sendiri oleh ny Tanzil. Kemudian dikirim ke restoran-restoran kita. R: Ok, bisa diceritakan bagaimana asal mula persoalan sampai sengketa-sengketa itu terjadi? Y: Persoalannya kurang adanya seniority antara satu sama lainnya. Pihak Honorindo menyatakan bahwa perpanjangan waralaba yang setelah 3 tahun itu terlalu mahal. Sedangkan pihak ny Tanzil menanyakan kenapa nama Tanzil didaftarkan atas nama PT. Honorindo. Tanpa menanyakan terlebih dahulu. Jadi nama Tanzil itu didaftarkan oleh PT. Honorindo sebagai trademark dari PT. Honorindo. R: Jadi ada 2 persoalan disini. Persoalan pertama pendaftaran nama. Yang kedua soal perpanjangan waralaba yang tidak sesuai. Sekarang soal perpanjangan waralaba dulu yang kita bahas. Yang di maksud terlalu mahal itu bagaimana? jadi selama ini bagaimana sistem yang dilakukan? Y: Kita membayar fee ke Tanzil Fried Chicken dengan membeli bumbu-bumbunya. Kami membeli bahan baku dari ny Tanzil. Kontraknya sudah putus selama 3 tahun sebesar 15 juta rupiah. Setelah kontrak habis (3 tahun) pihak ny Tanzil minta 1,5 milyar. Untuk beli putus sampai 25 tahun. Pada saat itu memang menurut prediksi kita terlalu mahal. Cashflow-nya kita tidak mungkin. karena kapan kita punya untung sampai 1,5 milyar. Hingga kita memutuskan unutk bernegoisasi. Sayangnya negosiasi gagal tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Sehingga nama itu kami kembalikan. Dengan dikembalikan merek Tanzil maka PT. Honorindo mengganti merek Tanzil. Merek Tanzil itu citranya betul-betul luar biasa. Setelah ketika diganti Putri Fried Chicken penjualan turun. R: Penjualan turun langsung, walaupun rasa tidak berubah? Y: Rasa pasti berubah. Karena resepnya sudah tidak dari ny Tanzil lagi. Begitu kita turunkan merek Tanzil Fried Chicken. Saya yakin bahwa usaha ini akan hancur. Sampai sekarang Putri Fried Chicken masih ada sekitar 7. Tetapi sudah tidak menarik lagi dan orang tidak kenal. Kalau dulu Tanzil Fried Chicken memang betul-betul semua orang kenal. R: Mengenai nama, bukankah nama kan memang harus dipatenkan pak Yudiarto. Kenapa harus jadi masalah? Y: Masalahnya, keluarga Tanzil menganggap bahwa nama itu dipatenkan PT. Honorindo Cemerlang tanpa izin. Sedangkan dari Honorindo alasannya karena itu satu trademark yang dia harus jual waralabanya, jadi harus dipatenkan. Tidak adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga Tanzil karena sudah mempunyai hak pakai dalam perjanjian. R: Setelah dipatenkan juga tidak memberi imbalan kesana. Y: Sudah, dalam perjanjian itu dikatakan sudah. Tapi setelah 3 tahun kan harusnya ada perjanjian baru lagi. R: Makanya di charge 1,5 milyar. Mungkin karena kecewa sehingga dia pasang rate yang tinggi. Berarti Pak Tanzil juga sebetulnya tidak menghendaki itu diperpanjang. Apakah ada gejala seperti itu? Y: Beliau itu orang bijaksana sekali. Dalam hal ini akhirnya beliau cuma bilang udahlah dikembalikan saja namanya. Dia tidak minta kontrak lagi. Saya rasa beliau ini orang sangat sosial jadi saya rasa permasalahannya itu karena tidak ada titik temu. R: Apakah pak Tanzil tidak mengembangkan bisnis baru dengan nama Tanzil? Y: Tidak, Tidak sama sekali. Kalau sekarang nama dihidupkan kembali pasti luar biasa. Saya yakin karena citra nama itu betul-betul nyata dan konsumen juga ada. R: Bagaimana mendatangkan konsumen? Apakah dengan memasang iklan di surat kabar? Y: Banyak sekali trik-triknya. Pada waktu itu belum ada purchase by purchase dari satu fast food restaurant. Tetapi kita sudah bikin purchase by purchase. Lalu kita buat iklan untuk promosi besar - besaran. Jadi waktu itu ada iklan di Prambors dan sebagainya. R: Anak muda ya yang dipilih? Y: Ya, kita bidik anak muda trus juga keluarga. Side menunya kita banyak sekali. Misalnya: steak kita khas sekali. Dan nasi kuning itu sangat laku sekali. Kemudian sop buntutnya, banyak macam menunya Pak. Jadi waktu itu kita ada beberapa produk sampingan yang sangat laku. Dan semuanya ramuan Ny. Tanzil. R: Saya juga melihat Tanzil Fried Chicken memasang iklan banyak sekali di Post Kota. Y: Iya, karena saya tahu bahwa saingan saya waralaba dari luar negeri. Jadi dalam berpromosi kami membuat secara besar-besaran. Budget promosi sampai 20% dari penjualan. sebelum terjadi konflik intern sudah ada permintaan 12 outlet baru. Dengan harga US$ 15.000 perwaralaba untuk 3 tahun pertama. Kemudian ditambah franchise fee 5% dari omset. R: Sekarang, andaikata saya masuk ke dalam bisnis ini. Kemudian mendekati Pak Tanzil dan menghidupkan kembali brand Tanzil. Apakah ada kemungkinan menurut Pak Yudiarto? Bagaimana pasarnya? Y: Dari kaca mata pasar, itu masih ada pangsa pasarnya. R: Ny Tanzil sendiri sekarang sudah meninggal. Apakah bisnisnya masih jalan? Apakah mereknya masih hidup? Y: Masih ada pak, restoran kecilnya masih ada di Cawang. Kursus memasak dipegang anaknya yang di Kelapa Gading. R: Merek Tanzil ini sebetulnya masih bisa dihidupkan kembali ya. Y: Saya rasa potensinya masih ada. Melihat penduduk Indonesia yang begitu besar. Yang betul-betul pengen merasakan makanan enak. R: Darimana Pak Yudiarto merasa yakin bahwa usaha ini bagus? Misalnya dibandingkan dengan Kentucky, California dan sebagainya pada masa itu. Seberapa kuat mereknya? Y: Mereknya sangat kuat karena kita mempunyai ciri khas tersendiri yaitu Indonesian taste. Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan pendengar melalui telepon. Penelpon I, Bp. Bobby (T1): Saya Cuma membagi pengalaman saja. Pada saat bekerja di Advindo advertising agency. Saya pernah menangani merek Tanzil ini. Bila Pak Tanzil berminat untuk membangkitkan kembali merek Tanzil ini alangkah baiknya. Karena dari menu yang mereka miliki sangat luar biasa. Hal itu yang ingin saya coba berikan. Dapat dikatakan suatu dorongan buat Pak Tanzil kalau memang ia berniat lagi. R: Atau barangkali diantara pendengar ada yang ingin menghidupkan kembali bisnis itu. Dan Anda yakin mereknya masih hidup. T1: Yakin sekali. Karena dari menu yang dimiliki, sangat cocok dengan lidah kita sebagai orang timur. Apalagi menunya sangat bervarisasi. F: Ok, terimakasih Pak Bobby. Mudah-mudahan komentar ini didengar oleh keluarga dari Pak Tanzil atau siapa saja yang berwenang dari pihak keluarga Tanzil. Ahli warisnya yang terkemuka siapa pak? Y: Pak dr. Kuntje di Cawang. F: Barangkali kita bisa rekamkan ini supaya beliau dengar, begitu ya Pak R: Kita sangat concern dengan bangkitnya brand-brand local. Karena nama ny Tanzil dibangun setengah mati. Dari bawah dari zaman dulu dan media massa juga masih sedikit sekali. Sayang sekali bila merek Tanzil ini mati. Penelpon II, Bp. ARI: Saya ada 2 pertanyaan. Waktu dulu bagaimana penyelesaian akhirnya? Karena PT juga mengalami kerugian kalau semua ditutup. Kedua, hak namanya dari Ny. Tanzil itu apakah dikembalikan kepada mereka atau tetap dipegang oleh PT? Y: Kita tahu bahwa situasinya sperti: kalah jadi arang menang jadi abu. jadi semuanya harus punya jiwa besar. Kita kembalikan seluruh atribut bahkan sampai piring-piring, mangkok-mangkok dari 23 cabang. Sedangkan hak nama itu kita kembalikan secara hukum ke ny Tanzil juga. R: Saya kira spirit ini mesti dihidupkan kembali. Tetapi harus dicari investor yang bener-bener serius. Kesimpulan: Kita bisa belajar bukan hanya dari sesuatu yang sudah berhasil, sudah tumbuh, tapi berkali-kali saya katakan “kesalahan adalah ibunya dari penemuan-penemuan”. Penemuan usaha, bisnis dan lain sebagainya itu beranjak dari satu kegagalan yang harus kita gali kembali. Kita tidak bisa mengatakan kegagalan adalah suatu hal yang memalukan dan sebagainya tapi barangkali disitu memberikan hikmah yang dapat dipelajari oleh orang lain. Nah, dalam hal merek Tanzil ini kita melihat satu merek lokal yang sayang sekali. Kita melihat McDonald puluhan tahun dibangun mereknya. Kemudian Kentucky Fried Chicken, bahkan di CNN Larry King itu sudah 40 tahun lebih. Kalau saya lihat fotonya dari dulu sampai sekarang ya, Kenapa kita tidak bisa bertahan seperti itu? Tentu ada persoalan-persoalan yang harus kita benahi. Masalah hukum masih merupakan satu hal yang pelik di Indonesia. Juga masalah hubungan antara orang per orangan harus kita jaga. Sebenarnya merek Tanzil ini dibangun sudah lama oleh ny Tanzil. Dan Pak Tanzil sendiri juga dikenal sebagai seorang profesor yang intelektual. Dia punya banyak murid, dan senang dengan hubungan-hubungan baik. Jadi merek Tanzil itu sebenarnya sudah jadi. Dan Ny. Tanzil berhubungan dengan makanan yang lezat. Nah, inilah yang kita harus gali untuk membangun kembali produk-produk nasional kita. Sayang sekali merek yang sudah dibangun ini jika tidak benar-benar dimanfaatkan. Daripada kita membuat sesuatu yang kita bangun dengan iklan. Katakanlah kasih nama misalnya Ayam Goreng Ny. Leny, Ayam Goreng Ny. Sampoerno, atau yang lainnya. Nama-nama itu belum mempunyai nilai jual dalam bidang itu. Alangkah baiknya merek di ambil dari nama yang sudah jadi. Nah, mereknya harus kita angkat kembali. Saran saya kepada siapa saja yang berminat untuk mengembangkan merek ini gunakan cara-cara yang sopan, dan fair. Bagaimanapun juga fairness sangat dibutuhkan disini. Karena ini merek yang menyangkut dengan nama seseorang. Nama orang sangat dihormati karena garis keturunan dan sebagainya. Jadi harus jelas dibangun dengan hati-hati. Kalau perlu juga mengajak keluarga ibu Mery bicara. Jangan sampai nanti sudah jadi timbul persoalan baru lagi. Jadi saya kira itu perlu dibicarakan dengan baik-baik semuanya. Perjanjiannya harus jelas. Hubungan-hubungannya dibangun dengan satu pegangan yang jelas. Dan himbauan kami kepada Pak Tanzil dan keluarga supaya bisa menghidupkan kembali merek ini. Ini sangat baik buat kita daripada dollar ini diserahkan kepada luar negeri terus kita bayar franchise. Kita bangun saja disini.. Tadi pada saat off-air diceritakan bahwa bila California, Texas, Kentucky, itu berjejer dengan Tanzil. Dapat dipastikan yang paling rame itu ny. Tanzil. Memang sudah terbukti rasanya taste disukai oleh masyarakat. Kalau diantara pembaca ada yang tertarik untuk menghiduokan merek ini kembali. Dapat mengirim email lewat Forum Rhenald Kasali di Detik.com Belajar Dari Kegagalan Oleh: Rhenald Kasali Tamu acara "Bedah Bisnis Rhenald Kasali" di radio M97FM, pada 9 April 2001 lalu, adalah Pak Dollar dan Ibu Beti, pendiri dan pemilik MM Juice. Seperti biasa, Rhenald didampingi Febrira Ghalib alias Ifeb dari M97FM. Berikut petikan wawancara tersebut. Febrira Ghalib (F): Pagi ini kita akan bincang-bincang tentang juice yaitu MM juice Rhenald Kasali (R): Betul, Selamat Pagi Bu Beti dan Pak Dollar. Ini namanya keren bener nih. Satu Bu Beti satu Pak Dollar. Kenapa namanya dollar pak? Dollar (D): Sebenarnya saya orang Betawi, orang betawikan seneng pake nama uang gobang, picih, talen, peser. F: MM Juice MM ini singkatan dari apa Bu? Beti (B): MM Juice itu singkatan dari Melawai Minum Juice. Ya karena memang sejarah dimulai berdiri pertamanya di Melawai akhir tahun 1988. R: Di mulai dari Melawai tahun 88. Kalau tidak salah pada waktu itu belum banyak orang tahu tentang istilah juice. Orang tahunya jeruk peres, belum ada orange juice waktu itu ya? B: Orange Juice mungkin sudah ada. Saya kira di rumah-rumah orang ya meres juice sendiri. Meres jeruk nipis, jeruk orange juga ya. R: Bisa diceritakan bagaimana memulai bisnis ini? Sebelumnya berbisnis apa sampai akhirnya ke bisnis ini? B: Wah bisnisnya saya sih bermacam-macam juga, seradak-seruduk juga. Dimulai dari kosmetik sampai cattering. Kemudian saya lihat lebih baik buka restoran daripada cattering. Karena masalah faktor manusianya. Kalau cattering-kan sifatnya umum-umum saja atau general. Dan disana saya tidak bisa memperlihatkan suatu citra tersendiri. Kalau dengan MM juice ini kelihatan. R: Saya juga punya cerita saat pertama laki nangkap Ibu Beti ini.Pada waktu itu saya mau cari teman saya Pak Marcel di restorannya Pandan Sari. Letaknya keluar sedikit dari Jagorawi, lewat jembatan. Di sebelah kiri ada restoran warna hijau yaitu Pandan Sari punyanya Pak Marcel. Tapi ketika saya tiba disana dan mencari Pak Marcel orang yang disana memberitahu bahwa Pak Marcel sudah tidak disini sudah ganti pemilik. Kemudian anak saya melihat didepan ada juice strawberry. Dia bilang pengin minum juice strawberry. Setelah saya melihat counter-nya saya bilang wah ini luar biasa di restoran ini kok dia pakai merek sendiri yaitu MM. Padahal restorannya Pandan Sari. Biasanya counter juice yang ada di restoran tidak memakai merek sendiri. Kemudian kami pergi ke Pasar Raya disana ada lagi MM Juice. Pertama kali lihat itu ingatnya langsung strawberry. Oh ya Strawberry udah bisa dibudidayakan disini ya bu?. B: Ya strawberry boleh dibilang makanan atau minuman yang bisa didapat di Indonesia mustinya di seluruh Indonesia karena sudah bisa dibudidayakan di Indonesia. R: Ini MM juice semuanya fresh bukan dari kaleng. B: Bukan pak di MM juice semuanya fresh. Karena ini juice minuman kesehatan dan kenikmatan F: Sekarang udah berapa kounter buka sejak 1988 B: Ya kounter sih 20-an lebih. Ada di Jakarta, di Bogor, dan di Bandung. Total seluruhnya 25. R: Kok bisa memilih bisnis Juice ini. Padahal awalnya ada usahanya kosmetik, cattering. Sebenarnya dari awalnya memang berbisnis atau kerja dulu sebelumnya. B: Nggak saya memang dari awal sudah berbisnis. Sejak selesai sekolah mulai berbisnislah diajak pak Dollar itu. R: Pak Dollar juga begitu dari awal pak D: Ya, karena keturunan wiraswasta lah ya pak Sebenarnya ada kekurangan juga nggak pernah kerja sama orang tidak merasakan suka dukanya menjadi karyawan. R: Pak Dollar sendiri pernah berbisnis apa saja? D: Banyak juga ya saya pernah bisnis eksport Import, import barang-barang farmasi pernah juga jadi distributor kosmetik, pernah juga bangun rumah-rumah murah di BTN. R: Terus sekarang bagaimana bisnisnya? D: semua gagal rugi bangkrut F: Bu kita pengen tahu usaha MM juice ini pernah mengalami pasang surut tidak? B: Sepertinya usaha saya ini lebih terdorong oleh arus. Kalau surutnya boleh dikatakan hampir tidak ada yang signifikan. Yang terjadi kadang kadang malah sebaliknya seperti pada tahun 1998 mestinya usaha menurun karena ada sembilan counter kami yang terbakar. Ternyata kami malah terdorong lebih baik. Nyatanya banyak orang pada waktu itu yang spend money-nya tinggi untuk makan dan minum mungkin karena saat itu bunga tinggi sekali. Sembilan counter yang dibakar mungkin karena kurang memberikan profit yang kita harapkan R: Jadi pada tahun 98 yang dikira hancur justru malah bagus. Pada waktu itu ekspansi lagi tahun 98? B: Ya, mulai lebih baik lagi tahun 98. Pada tahun 98 itu saya-kan ambil tempat yang di Pandan Sari. Rupanya banyak juga bisnis yang seperti kami, yang juga berdiri di beberapa mall pada tutup. Saya tidak tahu kenapa, salah dimana. Tetapi pada saat itu kami ditawarkan di beberapa mall dengan biaya sewa relatif murah. Walaupun dollar 15.000 tapi di mall-mall itu tetap ditawarkan 3000 - 3500 pada waktu itu. R: Karena yang lain kabur. Saya dengar pada waktu memulai bisnis ini sistemnya kongsi. Benar tidak tuh? B: Oh..ya itu memang suatu kongsi dari Pak Dollar dengan teman-temannya. Lima teman kalau nggak salah. R: Bisa diceritakan Pak Dollar apa manfaat dari kongsi atau barangkali kesulitan-kesulitan yang dialami kalau kita kongsi dalam berbisnis? D: Memang MM Juice ini merupakan kongsi saya dan kawan-kawan. Ada 6 orang yang kongsi, teman-teman itu adalah teman main tennis. Mereka mengajak buka usaha juice. Tetapi waktu tidak ada yang menjalankan. Saya bilang istri saya mau menjalankannya sebagai manajer. Setelah berjalan satu tahun lebih saya lihat cukup bagus. Kendalanya karena kongsi enam orang selalu harus berunding melulu. Dan kalau istri saya mengeluh perlu kendaraan perlu motor mereka bilang nanti dulu. Akhirnya pakai mobil saya, motor saya. Mereka hanya minta dividen tiap tahun. Karena itu saya katakana pada mereka diberikan kepada saya saja usaha ini. Dan akan saya kembalikan uangnya dobel tetapi beri saya waktu. Mereka akhirnya setuju. Modal pada waktu kira-kira 1 orang 9 juta tahun 88. Setelah selesai saya kembalikan modal mereka dua kali lipat plus bonus-bonusnya. R: Jadi kendalanya, ketika mengambil keputusan lamban dan orientasinya hanya pada dividen bukan pada proses pengembangannya. F: Sampai sekarang masih sering ketemu pak? D: masih kita kawan baik semuanya kalau abis main tennis mampir kesono F: Bu berapa orang pegawai sekarang bu? B: sekitar 200 - 300 kurang lebih. Ya pusing juga karena kami bukan padat modal tapi padat karya. Karena interaksi dengan manusia lebih memakai EQ danIQ berbeda degan teknologi. F: Tiap bulan minta naik gaji bu B: ikutan UMR sih kalau sekarang UMR setahun bisa naik dau kali kan bingung juga R: Kalau 200 orang sudah harus ada manager personal sendiri B: Manager personal ada SDM ya. Manajer SDMnya kami rekrut dari bawah. Maksudnya mereka yang mengenal sejarah dan budaya dari perusahaan kami. Lebih banyak kami ambil dari bawah daripada orang-orang luar. F: Kalau pak Dollar mengatakan dari 75 itu kebanyakan karena apa itu ditutupnya? Selain yang dibakar. D: Itu semua karena saya coba-coba. Sepertinya usaha bisnis itu ada tahapannya. Mula-mula kita bisa eksis nggak? Kita masih mencari untuk survive dimasyarakat. Waktu itu kita mencari-cari, tidak tahu konsumennya yang mana yang penting eksis saja. Tapi lama-kelamaan saya makin mengerti konsumen saya. Sebenarnya mesti middle keatas. Harus jelas sasarannya, positioning-nya. Seperti pak Marcel di Pandan Sari menurut saya, itu salah karena sasarannya middle keatas mau, middle ke bawah, dan tidak ada positioning B: Mungkin lingkungan kali ya daerah dimana banyak perumahan yang cukup bagus-bagus, elit. Mereka mau minum juice kami yang memang middle up. Kalau letaknya terlalu dipinggir kota atau dipinggir Jakarta memang belum mencapai sasaran. R: Jadi mayoritas masalahnya masalah sasaran konsumen yang dituju. Mengalami masalah system atau uang yang dicuri karyawan tidak D: Nah kalau itu saya merasa bangga terhadap istri saya. Mendapatkan karyawan yang jujur, setia dan mencintai MM Juice malah lebih dari saya. Mereka begitu care sekali sampe mereka lebih straight daripada saya kalau lagi sepi. R: Ada sistemnya tidak, supaya uang yang diambil kita tahu. D: Sistemnya sih belum ada jadi berdasarkan kepercayaan aja Dengan kepercayaan mereka yang ngontrol ke bawah lagi.

No comments: