Hari
Minggu paling pas untuk menulis resensi. Biar pembaca tak bosan, kali ini saya
ingin menulis resensi film.
Ini
film lama yang diluncurkan 1987. Film ini relevan karena temanya memang seputar
dunia saham, seperti tema blog ini. Lema Wall Street sendiri populer dikenal
dari nama jalan sepanjang delapan blok di distrik finansial bernama yang sama
di New York, Amerika Serikat. Di distrik inilah berdiri New York Stock
Exchange, pasar saham terbesar di A.S, serta beberapa pasar lainnya seperti
NASDAQ, New York Mercantile Exchange (pasar berbasis komoditas), dll. Film ini
bercerita tentang sepak terjang pemain di area Wall Street.
Di
era 80-an, Amerika memang dilanda demam merger dan akuisi yang kalap. Para
pemegang kapital raksasa seperti selalu kehausan untuk beraksi
mencaplok perusahaan, meganggabung perusahan, lalu melikuidasi atau menjualnya
demi keuntungan cepat. Di era 80-an ini A.S. juga mengalami kejatuhan besar
pasar saham pada 1987. Di masa inilah latar belakang film ini dibuat.
Cerita
film ini, mungkin Anda semua sudah tahu, ada seorang pialang saham muda bernama
Bud Fox (Charlie Sheen) yang bekerja di firma Jackson Steinem & Co. Bud
seorang yang ambisius. Ia ingin sukses di pasar saham, seperti pemangsa perusahaan
raksasa bernama Gordon Gecko (Michael Douglas). Demi menuju puncak, tiap hari
ini berusaha mencari jalan ke lingkaran raksasa itu. Hingga suatu saat ia
membocorkan rahasia internal bisnis, yang ironinya adalah berhubungan dengan
perusahaan Bluestar, tempat ayahnya bekerja, sebuah maskapai bermasalah
karena dirongrong serikat buruhnya. Bud membocorkan obrolan dengan ayahnya
bahwa Bluestar akan bisa menyelesaikan masalah dan tentu saja sahamnya akan
naik. Akhirnya Bud mendapat dana Gecko untuk membeli saham Bluestar dan untung
besar dari sana. Hubungan mereka berlanjut bahkan Bud menjadi anak buah Gecko
memata-matai jagoan akuisi musuh Gecko bernama Sir Lawrence Wildman. Dari hasil
penelusuran Bud, Wildman akan membeli sebuah perusahaan, Gecko mendahuluinya,
mengakuisi saham dalam perusahaan itu dan memaksa Wildman membayar dalam jumlah
besar darinya. Mereka untung besar. Bud kaya raya dan mendapat boneka cantik
teman Gecko, seorang dekorator bernama Darien (Daryll Hannah).
Tapi
hidup kaya tidak selalu indah, demikian yang dirasakan Bud. Ia mengusulkan ide
untuk mengakuisi Bluestar secara penuh untuk direstrukturisasi agar lebih
menguntungkan. Bud dipasang sebagai pimpinan untuk merayu serikat buruh.
Sepertinya rencana yang menarik bagi Bud, karena ia bisa membantu perusahaan
ayahnya bangkit. Tapi rencana tinggal rencana, Gecko memang raksasa serakah,
dia termasuk golongan haus darah. Ternyata Gecko punya rencana memecah Bluestar
dan menjual asetnya, keuntungan cepat daripada capek mengatur manajemen dalam
jangka panjang. Bud memberontak, ia tak suka keserakahan Gecko mengorbankan
banyak orang, termasuk ayahnya. Bud menghubungi Wildman, dia lalu membuat plot
untuk menjatuhkan saham Bluestar dengan meniup gosip ke pasar melalui
jaringannya dan juga bisikan ke media. Saham Bluestar rontok. Wildman
mengakuisi saham yang dijual di pasar. Hanya tersisa saham mayoritas yang
dipegang Gecko. Bahkan serikat buruh yang diberi bocoran rencana Wildman
(rencana Bud sendiri), balik menentang dan berani melawan Gecko. Wildman balik
menantang Gecko membelinya di harga pasar atau ia rugi jutaan dolar
investasinya karena serikat buruh toh tidak menyetujui rencananya. Gecko setuju
menjual sisa saham Bluestar kepada Wildman. Dan cerita berakhir ketika Gecko
mengetahui bahwa otak intrik akuisi Bluestar oleh Wildman adalah Bud sendiri,
orang yang didiknya. Meski terbukti salah melakukan insider trading, hukuman
Bud agak diringkan setelah ia membantu menangkap basah Gecko dalam berbagai
pelanggaran transaksi saham. Bud bertindak benar, demikian ayahnya berkata, dan
itulah cerita impian di Wall Street.
Kisah
yang fantastis, tentu saja. Tapi film ini diangkat dari berbagai sumber kisah
nyata, kisah insider trading, tokoh raksasa kejam semacam Gecko
yang hanya peduli meraup uang besar dalam waktu singkat, dan juga intrik pasar
saham semuanya memang ada. Karakter Gecko sendiri konon dibuat untuk
menggambarkan tokoh semacam Carl Icahn,
Ivan Boesky, Michael Milken, dan lain lainnya. Pembaca Buffett
mungkin kenal dengan Boesky, ia dikenal sebagai lawan Buffett dalam mengakuisi
Scott & Fraser, perusahaan penerbit World Book Encyclopedia. Manajemen
Scott & Fraser lebih memilih Buffett sebagai sosok pelindung manajemen
daripada Boesky yang perusak. Milken dikenal sebagai raja obligasi sampah (junk
bond), ia dihukum 10 tahun dalam kasus insider trading. Stone, sutradara favorit
saya ini, katanya membuat film ini juga sebagai dedikasi untuk ayahnya, seorang
pialang saham di era Great Depression.
Kisah
yang diangkat film ini merupakan sisi buruk pasar saham. Semua orang mungkin
akan berusaha menghindari kejahatan finansial seperti yang terjadi di film ini.
Tapi ironinya, kita selama ini mendapatkan konsep besar bahwa untuk kaya dalam
berinvestasi saham adalah dengan cara yang digambarkan di film Wall Street ini.
Konsep bahwa agar sukses di saham kita harus mendapatkan informasi internal,
agar peluang kita membeli saham di harga lebih murah kemudian menjual sahamnya
ketika harganya naik. Tak perlu harus melakukan insider trading. Semua ini
kisah yang salah. Tapi ironinya investasi saham tetap digambarkan sebagai
aktivitas kalah mengalahkan yang kejam, seperti olahraga balap pacu, kalau
tidak cepat maka kita akan kalah. Sering kah Anda mendengar demikian? Padahal
dalam kenyataan, kan tidak? Ada begitu banyak investor yang sukses bahkan
dengan metodologi konservatif, hati-hati, cenderungnya memang perlahan dan
membosankan. Untuk menjadi sukses dari investasi saham seperti Buffett pun tak
perlu harus melanggar aturan.
Bahkan
dalam dalam lanjutan film yang diluncurkan tahun 2010, Stone tetap mengangkat
kisah yang mirip, dan tentu sudah tidak terlalu fantastis lagi. Seandainya ada
yang bisa mengangkat kisah investor sukses semacam Buffett dalam film, tentu
pemirsa akan terlalu bosan. Kisah Buffett hanya dipenuhi cerita riset, membaca laporan
keuangan. Ia membaca 200 ratus laporan keuangan dalam setahun. Buffett hapal
semua angka-angka dalam neraca dan laba rugi bahkan mengalahkan manajemen
perusahaan tempat ia berinvestasi.
Tapi
itulah pasar saham. Media tetap menceritakan kisah pertarungan dan balapan yang
sama. Buku-buku investasi tetap lebih suka menerbitkan materia peramalan dan
mengalahkan pasar daripada buku mempelajari bisnis yang baik. Dan Wall Street
tetap terdengar sebagai figur kejam sepert penjajah dan perlu diduduki
agar dunia makin baik. Padahal sumber masalah finansial mungkin bukan di sana.
No comments:
Post a Comment