Nasib manusia ditentukan Tuhan. Begitulah yang
diyakini kebanyakan orang. Tapi, Tuhan juga mengharapkan manusia berusaha,
dan tabah dalam menghadapi cobaan.
Ini sepenggal kisah yang saya dapat dari
pengalamanan selama bermain saham.
Pada saat saya pertama kali menginjak Bursa Effek
Jakarta (tahun 2000), Indeks berada pada kisaran angka 341. Ini bukan angka
indeks yang terendah karena beberapa bulan kemudian terjadi Ledakan Bom di
Parkiran gedung BEJ yang menyebabkan Indeks terhempas hingga dibawah 300. Pada
saat kejadian ini saya termasuk orang yang hampir melompat dari jendela lantai
6. Untung tak jadi. Kalau jadi, tak ada yang menulis cerita ini.
Kami semua terhenyak oleh peristiwa ini. Tapi bisa
apa selain setiap hari semakin diam. Salah seorang pemain, namanya pak Ali,
mula mula menjadi bahan ledekan kami. Beliau ini dulunya pemilik pabrik tas
tangan non branded. Harga tas buatannya berkisar antara 50 ribu hingga 200
ribu. Tas kelas ekonomi istilahnya.
Reformasi melahirkan Tragedi Jakarta. Pak Ali ini
salah satu korbannya. Pabriknya dijarah, pekerjanya berusaha menghalangi, tapi
kalah kuat dengan arus penjarah. Salah satu pabriknya terbakar. Pak Ali
bersyukur karena keluarganya selamat.
Setelah kerusuhan reda, pabriknya yang tinggal satu
dijual oleh pak Ali dengan harga yang sangat murah -jika diukur dari kondisi
sebelumnya. Hanya 500 juta ! ( bangunan, mesin jahit, sisa bahan baku).
Pekerjanya ikut menangis melihat penjualan ini. Pak Ali berpesan pada investor
barunya agar kalau bisa tetap mempekerjakan mantan karyawannnya. Usia diatas 50
termasuk alasan dibalik penjualan ini.
Dengan berat hati pak Ali merelakan pabriknya
berpindah tangan.
Pada saat ini usaha apapun stagnan alias jalan di
tempat. Penjualan selalu berada pada angka tipis antara cost dan harga pasar.
So, yang punya duit nganggur semua berpikir sama : Bursa Saham ! Siapa tahu
kondisi perekonomian membaik dan harga saham terangkat dimasa mendatang.
Pak Ali pun masuk menjadi anggota pada sebuah sekuritas
dengan satu tujuan tunggal : Membeli saham Bank Niaga yang saat itu sedang
dalam proses Privatisasi. Harga saham ini udah deadlock pada angka 5 rupiah !
Pak Ali menginvestasikan 500 juta-nya pada saham
tunggal emiten berkode BNGA ini. Luar bisa berani. Kalau orang lain pasti
dipecah dalam beberapa emiten.
Setiap hari pak Ali datang ke sekuritas dengan
setia, duduk sejenak, membuka monitor, menatap
layar dimana BNGA ini selalu stagnan pada angka pasti : 5 rupiah! Setiap hari ada saja yang usil meledeknya agar diam dirumah saja seperti diamnya BNGA. Pak Ali tak memedulikan ledekan ini. Dia tetap datang dan setia menjenguk BNGA-nya.
layar dimana BNGA ini selalu stagnan pada angka pasti : 5 rupiah! Setiap hari ada saja yang usil meledeknya agar diam dirumah saja seperti diamnya BNGA. Pak Ali tak memedulikan ledekan ini. Dia tetap datang dan setia menjenguk BNGA-nya.
Hari berlalu, bulan berganti, tak terasa tahun juga
berganti. Sudah tak terhitung ledekan yang diterima pak Ali.
Bank Niaga akhirnya berhasil diprivatisasi.
Merangkaklah Emiten ini dari 5 rupiah menjadi 6, 7, 8 dan terus melejit. Sampai
akhirnya mencapai angka 50 rupiah. Orang orang mulai menghitung, sekarang pak
Ali punya 5 M!!! Dan BNGA masih terus melejit.
Di angka berapa sahamnya dilepas? Pak Ali tak
pernah memberitahu kami karena untuk menjual sahamnya dia hanya perlu
mengangkat telpon menghubungi AE. Namun, sejak itu dia sangat dermawan. Setiap
ada musibah kebakaran, banjir, atau musibah di Jakarta, dia selalu datang,
menyumbang, termasuk turun tangan membantu dengan tenaga tuanya .
Prinsip pak Ali adalah : Hidup Untuk Menjalani
Hidup, Jangan Suka Mengeluh !
No comments:
Post a Comment